Aku menulis hal ini bukan untuk menyinggung orang lain, namun untuk pelajaran bagi diriku sendiri. Agar aku sadar untuk selalu mengingat-Nya. Agar aku tetap berada pada jalan-Nya. Agar suatu saat nanti aku membaca tulisan ini lagi, aku ingat dan tidak menjadi orang munafik karena melupakan amanah untuk diri sendiri.
Berawal dari insomnia yang datang tiba-tiba setelah mengerjakan tugas kuliah dengan penuh cinta, aku iseng membaca blog milik seorang teman yang followers di twitternya malam ini genap 2000. Seorang teman yang baru saja aku kenal. Seorang teman yang ONTA (Orang Nyolot Tapi Asik), tapi ternyata sangat mencintai dan memiliki jiwa sastra.
Awal aku membaca blognya, aku suka cara dia membuat sebuah kalimat maupun paragraf menjadi penggalan kata-kata yang menarik dengan diksi yang tepat dan gaya bahasa yang tidak terlalu baku. Lalu sampailah aku pada sebuah posting yang membuat perasaanku campur aduk. Senang namun sedih, bangga namun malu. Posting yang satu ini berhasil membuatku menangis di tengah malam (untung orang di sebelahku udah tidur ._.v). Judulnya “Akhirnya...Aku Berkerudung” https://putrisudrajat.blogspot.com/2012/03/akhirnyaaku-berkerudung.html
Setelah membaca ini, aku beneran merasa malu atas diriku. “Aku percaya Allah, aku cinta Allah. Bagaimana agar cintaku terbalas? Ya, dengan menjalankan perintahNya dan menjauhi laranganNya. Itu mudah diucapkan namun sulit untuk direalisasikan.” Sampai saat ini aku emang egois ternyata. Aku ingin sangat dicintai namun tak melakukan apapun untuk dapat dicintai. Aku ingin yang instan, tanpa berusaha sebelumnya. Aku malu, hingga saat ini aku belum menjadi ‘akhwat’ sejati. aku masih belum mau berubah menjadi lebih baik. Bahkan untuk memanjangkan kerudung dan memakai rok saja aku belum mau. Aku malu, aku nangis.
“Mereka memang suka, tapi dalam hatinya mereka tak ingin punya wanita yang nista.” Aku menatap diriku lewat layar hp yang mati. Aku bukanlah wanita yang berparas cantik yang banyak laki-laki sukai, Tampangku pas-pasan. Merajuk pada kata-kata diatas, aku berpikir: mereka menyukai wanita yang cantik dengan keadaan yang demikian dimaksud, namun mereka ingin wanita yang ‘suci’; lalu bagaimana denganku? Cantik tidak, ‘baik’ pun tidak. Mau jadi apa aku? Jika paras adalah takdir, maka aku masih berubah dengan menjaga sikap n menjadi seorang ‘akhwat’. Namun, mengapa itu sulit sekali? Aku malu, aku nangis.
""lo kerudungan? emang hati lo udah pantes? emang perlakuan lo udah bener?". Astaghfirullah.” Aku tau gimana rasanya ada yang bilang kayak gitu. Sebagai muslimah yang baik, sejatinya kita tak hanya menjaga aurat kita, namun juga menjaga hati dan perilaku kita. Namun lagi-lagi ini bukanlah hal yang mudah. Aku pun belum bisa. aku masih begajulan. Lalu aku teringat dengan seorang teman SMA, Nibras; ia bisa menjaga hati dan ucapannya, mengapa aku tidak? Teringat teman kuliah, Tari; ia bisa menjaga dan menutupi auratnya dengan baik, mengapa aku masih setengah-setengah? Aku malu, aku nangis.
“Karena aku sadar, berkerudung itu secara tak langsung membuatku takut akan melakukan hal yang bathil.” Aamiin. Namun aku sangat malu. Anggaplah aku telah memakai kerudung selama 3 tahun sementara temanku ini baru saja memulainya. Temanku sadar, ia ingin berubah. Sedang aku, aku tetap saja melakukan hal yang bathil. Parahnya lagi, aku tau itu adalah hal yang bathil, namun tetap saja kulakukan, seolah menantang, tanpa rasa takut. Entah apa yang malaikat Atid katakan saat melihatku melakukan kebathilan dan mencatatnya dalam blackbook-ku.
“BERKERUDUNG ITU BUKAN KESIAPAN HATI!!! TAPI KEWAJIBAN DIRI!!! :)” Benar sekali. Namun bukan hanya dalam berkerudung, aku sadar dan tahu dalam berbuat baik atau melakukan perubahan ke jalan yang positif adalah bukan masalah kesiapan, namun kewajiban. Bila menuggu hingga siap, lama-lama bisa keduluan sama malaikat Izrail.
Satu hal yang membuatku semakin sedih, yaitu hatiku sendiri. Aku menulis blog ini, aku membaca posting tadi, aku menyimpulkan perasaanku. Aku tak ingin munafik, apa yang selanjutnya akan kuperbuat? Dengan nyali/mental seperti ini, STATIS. Aku membodohi diriku. Aku belum siap, aku belum siap, aku belum siap. Betapa meruginya aku ini. Berbagai paradigma yang terbesit di otakku, tetaplah tidak mampu melawan hatiku yang masih belum ingin keuar dari zona nyaman.
Aku ingin berubah. Mungkin butuh proses entah berapa lama. Aku ingin memulai dari hal-hal kecil, mungkin akan kumulai dari ucapan. Sedikit demi sedikit itu lebih baik dari tidak sama sekali bukan? Aku tak ingin menyesal saat Sang Izrail datang nanti. Aku ingin menyambutnya dengan kesiapan hati dan kesucian diri. Semoga aku bisa dengan ridho-Nya. Aamiin...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar