:D

:D

Minggu, 06 Oktober 2013

Mainan Masa Kecil

Malam ini tak bisa tidur lagi. Bangkit dari kasur menuju meja dapur, mencium aroma rerumputan yang basah oleh terpaan hujan, memandang bayang diri yang terpampang di tembok dengan berkas cahaya lampu yang menyorot. Oh hei, besar sekali aku! Bukan besar karena berat badan maksudku, tapi diriku yang telah menjadi...entahlah, remaja?

Tahun depan umurku 20, tua sekali ya? Rasanya malas sekali melepas status teenagers, malas sekali harus memulai tanggung jawab baru. Kuliah, wisuda, kerja, menikah, dan apapun itu di masa depan. Lalu membayangkan apa yang akan terjadi di tahun-tahun berikutnya dengan kemajuan teknologi yang ada. Mungkin aku akan lebih apatis. Mungkin aku jadi lebih egois, karena kurasa dunia pun akan menjadi sangat sangat egois. Atau mungkin aku akan sangat peduli terhadap sekitarku? entahlah. Yang kulihat saat ini hanyalah aku yang menonton tv sambil mengetik keyboard laptop dengan hp disampingku. Hebat, dengan tiga benda itu saja hampir lupa bahwa besok adalah hari senin. Aku bahkan tidak peduli kalau besok itu masuk kuliah pagi. Egois terhadap diri yang sebenarnya sudah sangat mengantuk.

Lalu apa hubungannya dengan menjadi tua? Sebenarnya aku hanya rindu dengan masa lalu. Masa kecil yang tak perlu banyak berpikir. Tak disangka egois dan tak peduli bila tidak dianggap peduli.

Jadi, itulah masaku...

Dulu, belum ada hp canggih, belum ada laptop kecil.. aku belum bermain dengan teknologi, sehingga aku memiliki teman bermain. Waktu mainku dari jam 4 sore hingga menjelang maghrib. Anak kecil saat itu, apa saja bisa jadi mainan. Nemu daun jatuh bisa jadi masak-masakan. Nemu batu bata bisa bikin tapak meja. Nemu batu besar yang agak banyak bisa main batu tujuh. Ngga nemu apa-apa masih bisa main petak umpet, tak jongkok, 12 jadi patung, dan masih banyak lagi. Tiap minggu jalan-jalan naik sepeda, apalagi dulu dekat rumahku jarang ada yang punya mobil, jadi jalanan masih sepi. Mainan paling trendi saat itu saja baru playstation 1. Atau mainan kecil seperti digivice dan tamagotchi. Jarang ada yang punya hp, atau hpnya masih gede banget, yang gamenya itu cuman snake, space impact, sama entah apa itu namanya yang kayak congklak. Komputer juga masih gede monitornya, pentium I. 

Aku? Dulu aku punya rumah-rumahan barbie, dibeliin uwak ku. Padahal aku tidak terlalu suka barbie, tapi tiap ulang tahun pasti ada saja yang membelikanku barbie. Aku lebih suka mainan power ranger, ksatria baja hitam, dan sejenisnya. Tapi mama gasuka kalo aku pilah pilih mainan, akhirnya supaya adil aku kompilasikan saja semuanya. Dalam rumah-rumahan kujadikan saja barbie sebagai istri dan ranger sebagai suami. Aku punya boneka bayi kecil yang kujadikan anak mereka. Lalu kujadikan boneka monyet sebagai monster dan baja hitam sebagai penjahat yang menculik si bayi. Ranger dan kawan-kawannya berusaha merebut bayi mereka kembali sementara barbie menjaga rumah dengan perasaan khawatir. Baja hitam menaiki tamiya dan pergi dengan cepat, lalu ranger pun mengejarnya dengan crush gear. Yah kurang lebih seperti itulah bila aku memainkan babie dan ranger di rumah. Saat aku bermain seperti itu, segala imaji dapat tercipta, aku bisa lupa waktu dalam khayalku, aku larut dalam mimpiku.

Aku juga memiiki ring basket di tembok taman rumah, sehingga aku tak perlu ke lapangan untuk bermain basket. Mungkin itu yang membuat aku pada saat itu lebih tinggi daripada teman-temanku. Aku berpura menjadi Michael Jordan dan berlari sana sini mendribel bola lalu lompat lay up. Sering juga kubuat halang rintangku sendiri seolah rintang itu adalah lawanku yang ingin mencuri bola dariku. Aku juga punya bola sepak kecil, lalu mendribelnya sana sini. Atau aku menendang bola itu sekencang-kencangnya ke tembok hingga bola itu memantul dan kucoba untuk menangkapnya kembali. Tembok halaman rumahku strukturnya kurang rata, hingga bola dapat memantul tak tentu arah dan menjadi tantangan untuk menangkapnya. Aku meletakkan sendalku di kanan dan kiri seolah itu adalah garis gawang. Lalu kutendang bola ke tembok dan mencoba menangkapnya seolah aku adalah keeper profesional. Aku mengangap diriku adalah Wakashimatsu atau Wakabayashi yang terlihat keren saat menangkap bola dalam tayangan Captain Tsubasa. Aku menjadi komentator diriku sendiri saat menangkap bola. Apabila aku terjatuh karena tersandung, aku akan marah pada bola seolah ia yang membuatku terjatuh. Biasanya aku akan menyudahi permainanku bila sudah kesal sendiri, atau aku akan bermain bola yang lain. Bola tenis. 

Bola tenis adalah sahabatku. Hahaha sahabatannya sama bola ya. Bola tenis itu kecil dan mudah di genggam dan bisa dibawa kemanapun, bahkan bisa masuk ke dalam kantong celana olahraga. Saat bosan di kelas, aku bisa main lempar-tangkap sendiri diam-diam di kolong meja. Saat istirahat, aku main dengan teman-temanku di lorong seolah itu bola sepak, atau main kucing-kucingan. Jika sedang kesal dengan anak cowok yang berlagak preman, kulempar saja punggung atau kepalanya dengan bola itu juga. Saat di rumah, aku memainkan bola tenis dengan cara yang sama dengan bola sepak, bedanya kalau bola tenis aku lempar sekencang-kencangnya ke tembok seolah aku melempar bola pada batter dan menjadi juga menjadi pitcher. Bola tenis kan kasar, bila bergesekan dengan permukaan yang tidak rata, arah pantulannya lebih tidak terprediksi dan semakin seru untuk menangkapnya. Apalagi bentuknya kecil sehingga aku akan sangat bangga bila berhasil menangkapnya. Sahabat lainku saat kecil adalah buku. Aku sangat menyukai buku dongeng, sepperti si kue jahe, puss in boots, tiga babi kecil,dan banyak lagi yang lainnya. Membaca bagiku adalah pembunuh waktu paling sempurna. Dulu aku juga menyukai buku pelajaran, tidak seperti sekarang ini, membuka buku kuliah aja sudah berat rasanya. 

Aku tidak punya ps. Kata mama, ps itu permainan setan, karena bikin malas belajar dan lupa waktu. tapi aku tidak begitu setuju karena dulu aku dapat memprioritaskan belajar dan bisa memanage waktu dengan baik. Aku sangat menyukai game, tiap ke hero atau bioskop, aku selalu ke tempat game. Game favorite ku adalah tekken atau yang semacamnya, karena aku selalu menang tentunya. Tapi aku paling tidak menyukai game racing, karena aku payah dalam mengemudi hingga selalu kalah. Kembali mengenai ps, karena mama tidak mau membelikanku ps, aku dijatah tiap dua minggu sekali ke rental ps untuk bermain selama dua jam. Yah, tentunya akulah satu-satunya anak perempuan disana. Game yang saat itu kumainkan biasanya pepsi, tarzan, kuuga, crash bandicoot, dan scooby doo. Aku juga pernah beberapa kali mencoba memainkan spiderman, namun aku tak pernah mengerti harus berbuat apa dengan spiderman itu -_-

Tiap hari minggu pagi sampai siang, aku berada di depan tv untuk nonton film kartun, tidak seperti sekarang yang kartunnya hanya 2-3 jam selebihnya sinetron. Setelah zuhur aku hanya makan siang, tidur, dan mengerjakan pr dari sekolah. Jika weekdays, aku diberi waktu dua jam pada petang hari untuk menonton kartun, lalu barulah mengerjakan tugas. Dulu aku jarang belajar secara khusus (diniatin belajar maksudnya), tapi aku selalu belajar bila ada pr (pr lah yang membuatku jadi belajar dan tahu ini itu). Sekarang? tugas aja jarang, gimana mau belajar ._.

Intinya, ingat masa kecil itu menyenangkan, paling berat cuman mikirin ulangan. Sekarang mah...ih tanggung jawab ada dimana-mana, pikiran bercabang-cabang. Udah ngga ada waktu main yang panjang kayak dulu. Kalo main pun, main apa sih? paling main game di hp, laptop, atau gadget-gadget lainnya. Kalo mau dibilang main sama temen, udah beda lagi artiannya main sama temen versi dulu dan sekarang. Kalo dulu ya mainin mainan sama temen. Kalo sekarang, ya main itu ngobrol, bercanda, jalan jalan, belanja, dan 'main' banyak hal lainnya. Zaman sekarang mainan apa sih yang begitu membahagiakan untuk dimainkan?





Kalau sudah beranjak dewasa, mungkin mainan paling asik itu...mempermainkan orang lain. hahaha, enggak lah, aku juga gabakal mau dipermainkan, jadi aku gaboleh mempermainkan doong. hahaha

Huft..aku rindu masa kecil.

Jumat, 04 Oktober 2013

Anak Sastra (UI)

Kata orang, anak sastra itu enak, kuliahnya nyantai, ga ngitung, dan banyak waktu luang. Tapi, ternyata tidak semudah yang terlihat saudara saudara.

Banyak waktu luang? Iyasih bener, kalo fakultas lain pada sibuk nugas dan sedikit organisasi, di fib itu banyak banget yang jadi kura-kura..entah rapat organisasi atau rapat kepanitiaan yang numpuk kayak apa tau. Kalo anak fakultas lain ikut seminar karena tertarik, kebanyakan anak sastra ikut seminar sana sini dimana-mana ya buat ngumpulin sertifikat untuk CV nanti, tuh saking banyak waktu luangnya. Tapi bro, kadang kita terlalu terbuai dengan banyaknya waktu luang. Mestinya sih bisa dimaksimalkan untuk belajar, tapi karena udah terlanjur banyak acara diluar urusan perkuliahan jadinya ya...yagitu..

Anak sastra ngga harus skripsi. Ini nih yang diramein orang-orang, enak banget ga tuh bisa lulus tanpa skripsi, paling cuman ngerjain makalah. Eits, jangan salah pemirsa, siapa bilang lulus dari fib (prodi sastra khususnya) itu mudah? Lu harus lulus kemampuan berbahasa 1-6, dimana kalo lu ga lulus salah satunya lu harus ngulang di tahun depannya (bukan semester depannya) dan itu juga kalo jadwal lu nanti ga bentrok loh ya. Apalagi untuk matkul tersebut tuh ga ada sp nya. Teruuus, buat lulus non skripsi itu syaratnya udah lulus 144 sks. Nah kalo lu mau dapet 144 sks tepat waktu (4 tahun), lu mesti ambil matkul pilihan dong, nah..ini nih yang bikin galau, susah banget nyari matkul yang sesuai sama jadwal kita, seringnya sih antara jadwal lu jadi bentrok atau kelas yang lu mau kapasitasnya udah full.

Nilai anak sastra bagus-bagus karena ga ada itung-itungan? Ah, kata siapa tuh? iyasih ga dipungkiri banyak juga anak sastra yang nilainya pada badai dan cumlaude gitu..banyak banget malah (dan gue calon anak badai, aamiin). Tapi...kalo diliat di tiap wisuda, lulusan cumlaude dari fib tuh termasuk sedikit dibanding yang dari fakultas lain. Terus untuk lulusan S2 S3 juga wisudawan wisudawatinya lebih dikit dari lulusan fakultas lain. Gue bilang gini karena gue udah tiga kali dateng wisuda bro. Nah sekarang masalah  nak ga ada itung-itungan, iya sih enak haha, tapi setiap jurusan pasti punya keunikan masing-masing dong. Mungkin gue enak ga ngitung apa-apa, tapi ya kerjaan gue ngapalin kosa kata, belajar grammar, bikin paper, bikin makalah, presentasi tanpa akhir, ngapalin sejarah, belajar politik dan sosial juga. Kedengerannya gampang ya? tapi asli, itu ga segampang yang lu denger atau yang lu kira. hahaha. Tapi senyebelin-nyebelinnya tugas gue, gue tetep bersyukur kok ga ada itungan, hehe.

Sabtu, 22 Juni 2013

Jumat, 07 Juni 2013

Ketika banyak orang yang kukenal mulai berjalan ke arah yang lebih baik. Masing-masing dari mereka menjadi lebih positif dan bermanfaat bagi sesama. Lalu dalam diam aku hanya dapat mengagumi tindak mereka lalu berkaca. Statis. Statis. Statis. Aku itu kenapa?

Meja Nomor 24

Cuman mau bilang aja, gapenting sih. tapi ganyangka aja kejadian lagi. Jadi gini, senin tanggal 3 kemarin gue jalan kaki ke kampus buat ujian tuh pagi-pagi. entah kenapa pengen aja lewat kantek. Nah pas di kantek, gue liat meja-meja pada di nomorin. Tapi ada satu meja yang entah kenapa menarik aja buat gue, awalnya gue liat sok gapeduli gitu, terus gue lewatin. Tapi pas udah lewat agak jauh, entah kenapa gue balik lagi ke meja itu. Mejanya ngga caper sama gue juga padahal. Gue aja bingung kenapa gue tertarik sama tuh meja. Yaudah, daripada sia-sia udah balik tapi ga ngapa-ngapain, gue kelilingin aja tuh meja kayak orang ga ada kerjaan. Terus iseng gue baca kertas di meja itu. Kurang lebih inti tulisannya ngasih tau kalo meja itu mau dipake buat pembagian kersos, terus di situ juga ada nomor mejanya. Meja itu nomor 24. Setelah gue lihat nomornya entah kenapa rasa penasaran gue akan tuh meja terpuaskan. Maka gue lanjut lagi jalan ke kampus sambil berharap ngga ada yang ngeliat keanehan gue yang tadi itu. Nah, kalo sekarang tetiba gue inget akan hal ini, itu ngga lain dan ngga bukan karena baru aja lima menitan yang lalu gue tahu personil kelompok 24 tersebut.

Kamis, 06 Juni 2013

Kalau kau mencintai seseorang, maka lepaskanlah. Jika ia kembali padamu, maka ia adalah milikmu. Jika tidak, maka ia memang tidak pernah menjadi milikmu

— Kahlil Gibran

Lama-lama orang males romantis karena entar disebut galau.
Males peduli takut disebut kepo.
Males mendetail takut dibilang rempong.
Males mengubah-ubah point of view dalam debat takut dibilang labil.
Juga, lama-lama generasi mendatang males berpendapat takut dikira curhat.

—Sudjiwo Tejo (Dalang Galau Ngetweet)


Tak ada hal yang tak akan kulakukan untuk orang yang benar-benar menjadi temanku. Aku tak punya angan-angan untuk mencintai orang secara setengah-setengah. Itu bukan diriku.

—– Jane Austen - “Northanger Abbey”

Senin, 27 Mei 2013

Si Bocah Pencari

Kisah dimana ada seorang bocah yang sangat ingin mendapat perhatian dari sekitarnya. Pada awalnya bocah ini berbuat onar dan sering membangkang, dan ia berhasil mendapat perhatian dari beberapa guru dan teman sekelasnya. Tapi ternyata ia hanya mendapat perhatian yang minim dan perilakunya hanya dianggap suatu kenakalan anak kecil yang normal.

Kurang puas, bocah ini sadar bahwa bila terlalu sering berbuat onar, ia takut malah dijauhi, bukannya diperhatikan. Maka ia pun mencoba berlagak menjadi pahlawan kesiangan. Pada suatu hari, ia melihat seorang temannya diganggu oleh seorang lelaki, yah hanya sifat kekanakan seseorang yaitu mengatai temannya hingga menangis. Merasa tak terima temannya ditangisi, bocah ini pun tanpa babibu meninju teman lelakinya itu, lalu meninggalkan lelaki yang sedang meringis itu. Tak lama kemudian, bocah ini dipanggil ke ruang kepala sekolah dan diinterogasi oleh wali kelasnya. Di sebelahnya berdiri anak lelaki yang masih meringis dengan darah di mulutnya, mungkin tinju bocah itu terlalu keras dan mengenai gusi anak lelaki itu. Bocah ini bukanlah seorang bocah yang teguh, sesungguhnya ia hanyalah pencari perhatian yang cengeng dan mudah menangis, hanya saja ia pandai menutupi air matanya. Ia hampir kalut dan suaranya mulai bergetar menahan tangis saat ditanya mengenai kesengajaannya dalam kejadian lalu, namun tak disangka anak lelaki itu malah membela si bocah. Entah apa alasannya, kasian atau takut ditinju lagi, tapi ia berkata pada sang guru bahwa si bocah melakukannya karena faktor tidak sengaja. Walaupun jika dilihat dari sudut manapun, apa yang bisa dilakukan seorang bocah secara tak sengaja hingga membuat mulut temannya lebam dan berdarah?

Sejak saat itu bocah tidak mau lagi berlagak sok pahlawan. Kini ia mulai berpikir bahwa dalam kawasan pendidikan, ia bisa mendapatkan perhatian dari prestasinya. Maka sejak saat itu ia mulai rajin belajar. Yah, selama beberapa tahun bocah ini berhasil mendapatkan perhatian yang selama ini ia inginkan. Ia memiliki banyak teman dan dikenali oleh satu sekolah. Tapi bocah ini merasa semuanya belum cukup. Memang ia memiliki banyak teman, tapi tak satupun yang benar-benar dekat. Seperti yang lainnya, semua datang lalu pergi. Tiap tahun selalu berganti, hampir tak ada yang sama.

Hingga hampir di titik akhir masa kecilnya, si bocah memiliki dua teman dekat. Namun pada suatu ketika, seorang temannya berkata bahwa orang tuanya menasihatinya untuk tidak terlalu dekat dengan si bocah..dengan alasan strata sosial si bocah. Mungkin si bocah memang masih kecil, tapi ia mengerti bahwa ternyata dunia ini tidak hanya melihat sifat seseorang, namun juga sisi sisi lain yang tak semua bocah miliki. Si bocah menahan rasa sedihya itu. Ternyata hubungan pertemanan bisa saja diakhiri dengan hal tak berkualitas macam itu. Tapi si bocah tidak menyalahkan latar belakangnya. Ia tahu bahwa pada suatu hari nanti, ia akan mendapatkan teman sejati, yang tidak melihat kondisi apapun pada dirinya, tapi hanya melihat kenyataan bahwa dia adalah dia.

Di titik akhir masa kecilnya, ia memiliki dua teman dekat lainnya yang lagi-lagi berbeda dengan temannya yang dulu. Tapi di titik akhir ini, ia kembali menemukan suatu kenyataan bahwa dalam hubungan pertemanan atau persahabatan, juga memiliki rasa cemburu. Bukan, bukan bocah itu yang cemburu. Semua berawal ketika seorang temannya menemukan buku harian salah satu teman dekat si bocah yang kebetulan sedang tidak di kelas. Si bocah sudah berusaha melarang temannya untuk membuka buku tersebut, namun temannya acuh, bahkan membacakan isi buku tersebut. Ternyata, teman dekat si bocah ini lebih menyukai berada di dekat teman dekat si bocah yang satunya lagi, namun ternyata orang itu lebih dekat dengan si bocah. Dari situ si bocah merasa bersalah telah menjauhkan yang mungkin lebih baik dekat, walaupun itu bukan salah si bocah. Tapi dari sana si bocah itu berpikir bahwa mungkin ia lebih baik sendiri apabila menjadi dekat dengan seseorang berarti menjauhkan orang itu dengan orang lain. Lagipula jika memang ditakdirkan, ia pasti akan datang dengan sendirinya, dan walaupun dijauhi, akan tetap ada. Itulah pikiran si bocah saat itu.

Jumat, 17 Mei 2013

Selasa, 26 Maret 2013

Tanya

Ini tentang kita.
Tentang suatu kata yang tak dapat menjelaskan semua rasa.
Kurasa kalian tahu itu apa, namun tak sedikitpun kalian bicara.

Akankah semua canda berujung tawa?
Kuharap tidaklah berakhir duka.

Karena aku mencinta..
Semoga tetaplah kita.
Bila memang terselip luka, kuharap tetap bersama.
Bila semua mulai terlupa, cobalah membuka mata.

Ya, sang kala terus meraja, di detiknya tertinggal tanya.

Kamis, 21 Maret 2013

Iya, itu seperti adik yang belajar dari kakaknya. Belajar memahami logika dan memaknai banyak hal, baik negatif maupun positif. Seperti kakak yang ingin menjaga adiknya dan menyayanginya dengan cara yang sama.

Saudara, itu jawabannya. Lebih tulus dari makna kekasih, lebih dekat dari makna sahabat.

Senin, 04 Februari 2013

Aku ngga berani sejujur itu untuk mengakui bahkan untuk sekedar mengetahui bahwa pada dasarnya aku ingat kamu.
Ya, karena aku ngga mau kamu tahu jika aku berharap kamu akan berpikir bahwa itu karena kamu. Sekalipun aku tahu bahwa kamu tahu.

Minggu, 03 Februari 2013

Aku hanya ingin tahu, apa aku di mata kalian?
Aku benci menjadi orang yang merasa paling membutuhkan. Aku benci seolah hanya aku yang memikirkan. Aku bertanya karena aku tak tahu isi hati orang lain, tak pula ingin ku me-reka-nya. Boleh kau bilang aku berlebihan atau apa, tapi..aku hanya letih kecewa. Itu saja.
Aku, dan kalian, dapatkah tak saling menyembunyikan?