Kisah dimana ada seorang bocah yang sangat ingin mendapat perhatian
dari sekitarnya. Pada awalnya bocah ini berbuat onar dan sering
membangkang, dan ia berhasil mendapat perhatian dari beberapa guru dan
teman sekelasnya. Tapi ternyata ia hanya mendapat perhatian yang minim
dan perilakunya hanya dianggap suatu kenakalan anak kecil yang normal.
Kurang puas, bocah ini sadar bahwa bila terlalu sering berbuat onar,
ia takut malah dijauhi, bukannya diperhatikan. Maka ia pun mencoba
berlagak menjadi pahlawan kesiangan. Pada suatu hari, ia melihat seorang
temannya diganggu oleh seorang lelaki, yah hanya sifat kekanakan
seseorang yaitu mengatai temannya hingga menangis. Merasa tak terima
temannya ditangisi, bocah ini pun tanpa babibu meninju teman lelakinya
itu, lalu meninggalkan lelaki yang sedang meringis itu. Tak lama
kemudian, bocah ini dipanggil ke ruang kepala sekolah dan diinterogasi
oleh wali kelasnya. Di sebelahnya berdiri anak lelaki yang masih
meringis dengan darah di mulutnya, mungkin tinju bocah itu terlalu keras
dan mengenai gusi anak lelaki itu. Bocah ini bukanlah seorang bocah
yang teguh, sesungguhnya ia hanyalah pencari perhatian yang cengeng dan
mudah menangis, hanya saja ia pandai menutupi air matanya. Ia hampir
kalut dan suaranya mulai bergetar menahan tangis saat ditanya mengenai
kesengajaannya dalam kejadian lalu, namun tak disangka anak lelaki itu
malah membela si bocah. Entah apa alasannya, kasian atau takut ditinju
lagi, tapi ia berkata pada sang guru bahwa si bocah melakukannya karena
faktor tidak sengaja. Walaupun jika dilihat dari sudut manapun, apa yang
bisa dilakukan seorang bocah secara tak sengaja hingga membuat mulut
temannya lebam dan berdarah?
Sejak saat itu bocah tidak mau lagi berlagak sok pahlawan. Kini ia
mulai berpikir bahwa dalam kawasan pendidikan, ia bisa mendapatkan
perhatian dari prestasinya. Maka sejak saat itu ia mulai rajin belajar.
Yah, selama beberapa tahun bocah ini berhasil mendapatkan perhatian yang
selama ini ia inginkan. Ia memiliki banyak teman dan dikenali oleh satu
sekolah. Tapi bocah ini merasa semuanya belum cukup. Memang ia memiliki
banyak teman, tapi tak satupun yang benar-benar dekat. Seperti yang
lainnya, semua datang lalu pergi. Tiap tahun selalu berganti, hampir tak
ada yang sama.
Hingga hampir di titik akhir masa kecilnya, si bocah memiliki dua
teman dekat. Namun pada suatu ketika, seorang temannya berkata bahwa
orang tuanya menasihatinya untuk tidak terlalu dekat dengan si
bocah..dengan alasan strata sosial si bocah. Mungkin si bocah memang
masih kecil, tapi ia mengerti bahwa ternyata dunia ini tidak hanya
melihat sifat seseorang, namun juga sisi sisi lain yang tak semua bocah
miliki. Si bocah menahan rasa sedihya itu. Ternyata hubungan pertemanan
bisa saja diakhiri dengan hal tak berkualitas macam itu. Tapi si bocah
tidak menyalahkan latar belakangnya. Ia tahu bahwa pada suatu hari
nanti, ia akan mendapatkan teman sejati, yang tidak melihat kondisi
apapun pada dirinya, tapi hanya melihat kenyataan bahwa dia adalah dia.
Di titik akhir masa kecilnya, ia memiliki dua teman dekat lainnya
yang lagi-lagi berbeda dengan temannya yang dulu. Tapi di titik akhir
ini, ia kembali menemukan suatu kenyataan bahwa dalam hubungan
pertemanan atau persahabatan, juga memiliki rasa cemburu. Bukan, bukan
bocah itu yang cemburu. Semua berawal ketika seorang temannya menemukan
buku harian salah satu teman dekat si bocah yang kebetulan sedang tidak
di kelas. Si bocah sudah berusaha melarang temannya untuk membuka buku
tersebut, namun temannya acuh, bahkan membacakan isi buku tersebut.
Ternyata, teman dekat si bocah ini lebih menyukai berada di dekat teman
dekat si bocah yang satunya lagi, namun ternyata orang itu lebih dekat
dengan si bocah. Dari situ si bocah merasa bersalah telah menjauhkan
yang mungkin lebih baik dekat, walaupun itu bukan salah si bocah. Tapi
dari sana si bocah itu berpikir bahwa mungkin ia lebih baik sendiri
apabila menjadi dekat dengan seseorang berarti menjauhkan orang itu
dengan orang lain. Lagipula jika memang ditakdirkan, ia pasti akan
datang dengan sendirinya, dan walaupun dijauhi, akan tetap ada. Itulah
pikiran si bocah saat itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar