:D

:D

Senin, 27 Mei 2013

Si Bocah Pencari

Kisah dimana ada seorang bocah yang sangat ingin mendapat perhatian dari sekitarnya. Pada awalnya bocah ini berbuat onar dan sering membangkang, dan ia berhasil mendapat perhatian dari beberapa guru dan teman sekelasnya. Tapi ternyata ia hanya mendapat perhatian yang minim dan perilakunya hanya dianggap suatu kenakalan anak kecil yang normal.

Kurang puas, bocah ini sadar bahwa bila terlalu sering berbuat onar, ia takut malah dijauhi, bukannya diperhatikan. Maka ia pun mencoba berlagak menjadi pahlawan kesiangan. Pada suatu hari, ia melihat seorang temannya diganggu oleh seorang lelaki, yah hanya sifat kekanakan seseorang yaitu mengatai temannya hingga menangis. Merasa tak terima temannya ditangisi, bocah ini pun tanpa babibu meninju teman lelakinya itu, lalu meninggalkan lelaki yang sedang meringis itu. Tak lama kemudian, bocah ini dipanggil ke ruang kepala sekolah dan diinterogasi oleh wali kelasnya. Di sebelahnya berdiri anak lelaki yang masih meringis dengan darah di mulutnya, mungkin tinju bocah itu terlalu keras dan mengenai gusi anak lelaki itu. Bocah ini bukanlah seorang bocah yang teguh, sesungguhnya ia hanyalah pencari perhatian yang cengeng dan mudah menangis, hanya saja ia pandai menutupi air matanya. Ia hampir kalut dan suaranya mulai bergetar menahan tangis saat ditanya mengenai kesengajaannya dalam kejadian lalu, namun tak disangka anak lelaki itu malah membela si bocah. Entah apa alasannya, kasian atau takut ditinju lagi, tapi ia berkata pada sang guru bahwa si bocah melakukannya karena faktor tidak sengaja. Walaupun jika dilihat dari sudut manapun, apa yang bisa dilakukan seorang bocah secara tak sengaja hingga membuat mulut temannya lebam dan berdarah?

Sejak saat itu bocah tidak mau lagi berlagak sok pahlawan. Kini ia mulai berpikir bahwa dalam kawasan pendidikan, ia bisa mendapatkan perhatian dari prestasinya. Maka sejak saat itu ia mulai rajin belajar. Yah, selama beberapa tahun bocah ini berhasil mendapatkan perhatian yang selama ini ia inginkan. Ia memiliki banyak teman dan dikenali oleh satu sekolah. Tapi bocah ini merasa semuanya belum cukup. Memang ia memiliki banyak teman, tapi tak satupun yang benar-benar dekat. Seperti yang lainnya, semua datang lalu pergi. Tiap tahun selalu berganti, hampir tak ada yang sama.

Hingga hampir di titik akhir masa kecilnya, si bocah memiliki dua teman dekat. Namun pada suatu ketika, seorang temannya berkata bahwa orang tuanya menasihatinya untuk tidak terlalu dekat dengan si bocah..dengan alasan strata sosial si bocah. Mungkin si bocah memang masih kecil, tapi ia mengerti bahwa ternyata dunia ini tidak hanya melihat sifat seseorang, namun juga sisi sisi lain yang tak semua bocah miliki. Si bocah menahan rasa sedihya itu. Ternyata hubungan pertemanan bisa saja diakhiri dengan hal tak berkualitas macam itu. Tapi si bocah tidak menyalahkan latar belakangnya. Ia tahu bahwa pada suatu hari nanti, ia akan mendapatkan teman sejati, yang tidak melihat kondisi apapun pada dirinya, tapi hanya melihat kenyataan bahwa dia adalah dia.

Di titik akhir masa kecilnya, ia memiliki dua teman dekat lainnya yang lagi-lagi berbeda dengan temannya yang dulu. Tapi di titik akhir ini, ia kembali menemukan suatu kenyataan bahwa dalam hubungan pertemanan atau persahabatan, juga memiliki rasa cemburu. Bukan, bukan bocah itu yang cemburu. Semua berawal ketika seorang temannya menemukan buku harian salah satu teman dekat si bocah yang kebetulan sedang tidak di kelas. Si bocah sudah berusaha melarang temannya untuk membuka buku tersebut, namun temannya acuh, bahkan membacakan isi buku tersebut. Ternyata, teman dekat si bocah ini lebih menyukai berada di dekat teman dekat si bocah yang satunya lagi, namun ternyata orang itu lebih dekat dengan si bocah. Dari situ si bocah merasa bersalah telah menjauhkan yang mungkin lebih baik dekat, walaupun itu bukan salah si bocah. Tapi dari sana si bocah itu berpikir bahwa mungkin ia lebih baik sendiri apabila menjadi dekat dengan seseorang berarti menjauhkan orang itu dengan orang lain. Lagipula jika memang ditakdirkan, ia pasti akan datang dengan sendirinya, dan walaupun dijauhi, akan tetap ada. Itulah pikiran si bocah saat itu.

Jumat, 17 Mei 2013